Sudah seberapa jauhkah keikhlasan kita dalam menerima takdir Allah? Sebuah takdir Allah
yang tidak sesuai dengan harapan kita. Atau lebih jauh, takdir Allah yang tak
pernah terbayangkan sebelumnya sehingga kita berada pada titik terbawah dalam
kehidupan yang kita jalani ini. Sudahkah kita menerima takdir Allah yang seperti itu dengan
kelapangan hati? Dengan sebuah kepasrahaan, yang menyerahkan seluruh diri kita
pada kehendak Allah. Atau malah kita tidak ikhlas menerimanya? yang pada
akhirnya hanya akan meninggalkan jejak berupa kekesalan di hati dan sesak di dada.
Kekecewaan dan kesedihan terus membuntuti, sampai-sampai kita berada di ujung
jurang keputusasaan dalam menjalani kehidupan.
Bagaimanapun, dalam hidup ini kita pasti akan merasakan takdir Allah yang tidak sesuai
dengan harapan kita. Lalu bagaimanakah seharusnya sikap kita dalam menghadapi takdir
Allah yang tidak sesuai dengan harapan kita? ada baiknya kita teladani kisah dari
salah satu sahabat Rasulullah Saw, yaitu Salman al Farisi.
Pada saat itu Salman al farisi telah memantapkan hati untuk menikah. Seorang wanita
Anshar yang solehah telah mengambil tempat dihatinya. Dan ini adalah pilihannya yang
tepat, pilihan yang berasal dari hati yang halus dan ruh yang suci.
Ia pun meminta sahabatnya yang juga seorang Anshar, yaitu Abud Darda' untuk
menemaninya dalam urusan khithbah. Setelah berbagai persiapan dirasa sudah cukup,
beranjaklah kedua sahabat tersebut ke rumah wanita solehah tersebut yang berada di
penjuru tengah kota Madinah.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah
telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan
jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa
Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk
mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.” ujar Abu Darda'.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, sahabat
Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan
seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya
serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di
belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang
bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap
ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud
Darda’ kemudianjuga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan.”
Jelas sudah. Sebuah takdir yang mengejutkan. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar
daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi ada hal yang begitu indah disana,
yakni reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan
bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan
bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas
orang yang dicintainya. Bahwa apa yang selama ini dia harapkan tidak sesuai dengan
kenyataan. Takdir Allah berbicara lain dari apa yang telah diidamkannya. Namun
sebuah kelapangan dihatinya telah membuat ia ikhlas dalam menerima takdir Allah tersebut.
Bahkan sebuah keindahan dari rasa ikhlasnya telah ia tunjukkan saat itu juga. Mari kita
dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku
serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”.
Itulah Salman al farisi. Jika pria pada umumnya pasti hati pria tersebut akan hancur
berkeping-keping dan akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun begitulah
Salman. Ketegaran dan keikhlasan hatinya dalam menerima takdir Allah telah menciptakan
keindahan sikapnya dengan memberikan mahar dan nafkah yang telah dipersiapkannya
kepada Abu Darda.
Keikhlasan hati Salman tentu bukanlah ikhlas yang biasa saja. Ada sebuah keyakinan dalam
keihklasan yang ditunjukkannya. Keyakinan bahwa apa yang telah ditakdirkan Allah untuknya
memanglah sesuatu yang terbaik untuknya meskipun takdir tersebut terasa pahit dan
memilukan. Dan keikhlasannya yang diikuti dengan keyakinannya kepada Allah dalam
menerima takdir tersebut telah menunjukkan bahwa ikhlas merupakan salah satu bentuk
keimanan tertinggi saat mendapatkan takdir Allah yang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan.